Laman

Minggu, 14 Agustus 2011

say bye to Baro (1/a)


Say bye to baro
Izy termenung menatap fotonya dengan seseorang yang ia cintai. Tertawa bahagia. Ya harusnya ia bisa tertawa seperti itu. namun terselip rasa bosan pada kekasihnya. Entah apa yang salah dengan hubungan mereka.
Namun sejak sebuah kalimat tanpa dosa keluar dari mulut Izy, semua keadaan menjadi berubah. Tak ada yang salah dengan kalimat “wah enak juga ya kalo punya cowo romantis!” dan sebenarnya tak ada yang salah pula dengan sikapromantis Baro yang dapat mengangakan siapa saja yang menyaksikan. Hanya saja sikap itulah yang membuat Izy bosan pada setiap moment mereka yang hanya dihabiskan untuk beromantis ria.
Izy menarik napas dalam untuk menjernihkan pikirannya. Ditutupnya sepasang mata sipitnya. Sebuah wajah tampan dengan sepasang mata bulat bening dan beralis tebal menyungging senyum yang begitu menawan. Tangan kecil Izy tergerak ingin menjangkau pipi chubby nan lucu kepunyaan Baro. Namun saat matanya terbuka bayangan tampan kekasihnya menghilang.
Izy bersegera bangkit dari duduknya. Ditentengnya tas slempangan berwarna hitam. Ditangan satunya tergenggam X5. Dipungutnya sneakrers putih di rak sudut kamar coklatnya. Dia segera beranjak dan meletakkan kembali foto berfiguranyaketika janji mengharuskannya pergi menemui sang pujaan hati.
***
Baro melihat lapangan tennis penuh perhatian. Dia Nampak gusar. Dilihatnya cemas deretan surprise dihadapannya. Akankah perayaan 100hari masa pacarannya akan berhasil?
“spanduk?” teriak Baro pada Jino yang mengacungkan jempol dan tersenyum. Dipakainya lagi vedora hitam yang semula berada diatas meja karna sibuk membereskan job spanduknya.
“lampion-lampion!” teriak baro pada Sinyo kini. Sinyo hanyamengangguk mantap dan tersenyum. Membuat kacamata minusnya ikut bergerak.
“cake?” ulang Baro menatap Sandy.            
“mancaaaaaap” jawab Sandy mencairkan suasana dengan logat alaynya yang kental. Sama persis dengan logo sebuah iklan yang berhasil ia tirukan. Yang berhasil pula membuat gelak tawa keluar dari Jino dan Sinyo.
“oh ya Ghofie? Kemana dia? Kok dia gak nongol?” tanya Baro kini secara universal. Dengan kompak ketiga temannya mengangkat bahu tanda tak tahu.
“Baro!” sapa suara dibalik tubuh tegap Baro. Seribu gendering seolah kompak memukul-mukul jantungnya. Membuat suara bising dagdigdug mengalun didadanya begitu suara halus Izy menyerukan namanya.
Dia berbalik. Didapatinya gadis cantik nan manis berambut panjang lebih dari sebahu mamakai t-shirt panjang berkapucong, bercelana jeans dan sepasang sepatu sneakers putih yang 100 hari lalu ia kenakan saat mendengar utaraan cinta Baro.
Baro segera menghampiri gadis manisnya. Sebuket bunga mawar ungu yang semula digenggaman tangannya kini telah beralih ketangan Izy.
“thanks!” kata Izy lemas tersenyum layu.
“ everything oke?” tanya Baro cemas.  Izy menggeleng. Menatapnya nanar yang sontan membuat tanda tanya besar muncul dikepala bertopi Baro.
“gw mau ngomong sama lo!” Izy mencoba serelaks mungkin mengungkapkan keresahan hatinya.
“gw gak mau lo kayak gini terus. Gw capek. Gw ngerasa kalo lo bukan Baro yang gw kenal. Bukan Baro yang setiap saat jail, cuek dan gak romantic. Plis berhenti jadi orang lain dengan segala keromantisan yang lo buat.
“sorry, bukanya gw gak ngehargain usaha lo. Tapi semua itu justru ngebikin gw ngerasa canggung. Gw ngerasa gak jalan ma cowo gw sendiri. Gw gak mau lo berubah jadi orang lain. Baro gw itu apa adanya. Yang bisa biking gw nyaman tiap didekatnya. Bukan Cuma biki gw terpesona sama apa yang dibikinnya. Dan semua keromantisan itu biking w sadar kalo didepan gw saat ini bukan Barometer kesayangan gw. Plis kalo lo ketemu sama cowo gw, pesen suru dia cepet balik, gw udah kangen banget sama dia. Gw harap saat gw pulang nanti dia udah balik.” Tutup Izy yang berhasilmembisukan seluruh orang dilapanagn tennis gelap hanya bercahayakan bintang dan lampion buatan Sinyo.
Izy segera berbalik mulai melangkah meninggalkan Baro yang mematung. Tangannya masih menggenggam sebuket bunga cantik pemberian Baro.
“do you want to go? Will you leave me forever?” tanya Baro masih mematung hanya saja bibirnya tak mematung sama dengan tubuhnya. Pandangannya kosong menatap lantai lapangan tennis ini.
“yes I do. Sorry I haven’t tell you before. Tomorrow I will go to London. Gw dapet beasiswa setahun disana. Jadi gw harap saat gw kembali besok gw udah bisa ngeliat senyum Barometer gw yang sesungguhnya.” Kata Izy tanpa berbalik menatap Baro. Air mata yang sedari tadi ditahannya diujung pelupuk mata sipitnya, tak tahan untuk ia tumpahkan. Buliran-buliran itupun akhirnya membasahi pipi mulusnya.
“good bye Baro. I still love you. Forever.” Ucap Izy lirih hamper tak terdengar lalu meninggalkan lapangan tennis. Dan menghilang ditelan kegelapan malam tanpa cegahan kepergian dari mulut  Baro.
Jino, Sinyo dan Sandy yang sedari tadi ikut menjadi saksi kepergian Izy. Mereka segera menghampiri sahabat mereka yang tengah kaku seolah tersihir oleh ucapan-ucapan Izy.
Hati Baro benar-benar remuk. Sakit rasanya harus mendengar ucapan-ucapan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Mengapa Izy sekejam ini? Menusuk bahkan memutilasi hatinya dihari penting mereka. Bertepatan dengan 100 hari mereka menjalin kasih.
***
TBC
ni cerita skuel dari Barometer in love iank q bikin jadi beberapa part. happy reading...
don't missing to leave commment... thanks... :DD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar